Dari Desa untuk Indonesia: Warga Tunggulpandean Bergerak Menjaga Nilai Kebangsaan

Jepara — Suasana malam yang biasanya tenang di Desa Tunggulpandean, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara, berubah menjadi ruang dialektika kebangsaan. Sabtu malam (28/6/2025), ratusan warga dari berbagai desa berkumpul di Hall Warga untuk mengikuti kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang dipimpin langsung oleh Jamaludin Malik, S.H., M.H., Anggota DPR/MPR RI dari Fraksi Partai Golkar.
Kegiatan ini bukan sekadar agenda formal dari lembaga negara. Di tangan Jamaludin Malik, sosialisasi ini menjadi semacam forum warga yang membangkitkan kembali kesadaran akan pentingnya peran desa dalam menjaga arah dan identitas bangsa.
“Negara ini berdiri bukan di kota saja, tetapi di desa-desa seperti Tunggulpandean. Kalau nilai-nilai kebangsaan mati di desa, maka habislah Indonesia,” ujar Jamaludin di hadapan lebih dari 150 peserta yang memenuhi ruang kegiatan sejak pukul 18.30 WIB.
Peserta berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari tokoh agama, kader PKK, pemuda, petani, pelaku UMKM, hingga guru sekolah dasar. Mereka datang tidak hanya untuk mendengar, tetapi untuk berdialog, bertanya, dan berbagi kegelisahan soal situasi kebangsaan hari ini.

Dalam paparannya, Jamaludin menguraikan Empat Pilar MPR RI—Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika—dengan pendekatan yang membumi. Ia mencontohkan bagaimana gotong royong warga saat panen atau kerja bakti merupakan wujud Pancasila yang hidup, bukan sekadar hafalan dalam buku pelajaran.
“Jangan kira Pancasila itu urusan gedung tinggi. Ia hidup di sawah, di dapur, di masjid, dan di pasar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Jamaludin menekankan bahwa UUD 1945 bukan milik pengacara dan politisi saja, tapi milik seluruh rakyat, termasuk warga desa. Ia menyebut bahwa banyak hak dasar warga seperti jaminan sosial dan layanan kesehatan yang dijamin konstitusi, tetapi belum dipahami secara luas.
Data yang ia kutip dari Dinas Kesehatan Jepara menunjukkan bahwa sebagian warga di wilayah Nalumsari masih belum menjadi peserta aktif JKN-KIS. “Artinya, konstitusi kita belum hadir sepenuhnya. Dan itu PR kita bersama,” katanya.
Sementara itu, narasi NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika ia bawa ke ranah media sosial dan kehidupan digital generasi muda. Ia menyoroti munculnya konten-konten provokatif dan intoleran yang kerap menyusup ke ruang digital warga desa.
“Desa hari ini sudah punya Wi-Fi, tapi jangan biarkan internet merusak persaudaraan kita. Mari jadikan pemuda desa sebagai benteng toleransi digital,” serunya, yang disambut tepuk tangan para remaja karang taruna.
Yang menarik, sesi diskusi menjadi ruang paling hidup malam itu. Para peserta tidak segan menyampaikan pertanyaan yang menggugah. Seorang tokoh agama mempertanyakan bagaimana cara menangkal ajaran menyimpang yang masuk lewat pengajian informal. Seorang ibu PKK menanyakan kenapa perempuan masih sering diabaikan dalam diskursus kebangsaan. Seorang mahasiswa dari desa setempat bahkan menyampaikan ide memproduksi konten TikTok bertema Pancasila.
Jamaludin menyambut semua pertanyaan dengan hangat dan serius. Ia menegaskan bahwa nasionalisme zaman sekarang tidak hanya lahir dari upacara bendera, tetapi juga dari konten edukatif, ruang diskusi keluarga, dan keterlibatan aktif warga desa dalam menghidupkan nilai-nilai konstitusi.
“Kalian adalah penjaga bangsa dari lini paling dasar. Kalau desa-desa ini sadar, maka Indonesia akan kokoh,” tegasnya.
Meski berjalan dengan sukses dan mendapat respons positif, beberapa peserta memberikan kritik konstruktif atas penyelenggaraan acara, seperti minimnya jumlah lembar materi, kualitas tata suara yang kurang optimal, dan waktu diskusi yang terlalu pendek. Namun di balik itu semua, peserta juga menyampaikan saran untuk pelibatan komunitas lokal secara lebih aktif, terutama dari kalangan perempuan dan pemuda.
Acara berakhir pukul 22.30 WIB dengan semangat yang masih membara. Beberapa peserta bahkan tampak enggan beranjak, memilih berdiskusi lanjut dalam kelompok-kelompok kecil sambil membawa pulang pesan-pesan kebangsaan yang baru saja mereka gali bersama.
Di tengah derasnya tantangan zaman, kegiatan ini menunjukkan bahwa desa bukan sekadar objek pembangunan, tetapi juga subjek penting dalam menjaga pilar-pilar bangsa.
Dan dari Tunggulpandean, malam itu, satu sinyal kuat dipancarkan ke arah ibu kota: Indonesia akan tetap berdiri, selama desa-desa tetap sadar bahwa mereka bagian dari fondasi kebangsaan.