Mas Malik Kawal APBN 2026:Prioritas Mitigasi Iklim dan Pengelolaan Sampah

Mas Malik Kawal APBN 2026

Jamaludin Malik, S.H., M.H., atau yang lebih dikenal sebagai Mas Malik, telah menjadi figur kunci di DPR RI, mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah II yang mencakup Kabupaten Jepara, Kudus, dan Demak. Sebagai anggota Fraksi Partai Golkar di Komisi XII, yang membidangi energi, sumber daya mineral, lingkungan hidup, dan investasi, Mas Malik menunjukkan komitmen kuat dalam mengawal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung isu-isu krusial seperti mitigasi iklim dan pengelolaan sampah. Dengan latar belakang pendidikan hukum yang mumpuni, Mas Malik dikenal sebagai legislator yang tidak hanya vokal dalam menyuarakan aspirasi rakyat, tetapi juga strategis dalam mendorong kebijakan yang terukur dan berkelanjutan. “Adaptasi perubahan iklim bukan sekadar jargon, melainkan langkah nyata untuk melindungi masyarakat dan perekonomian nasional,” ujarnya dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Sebagai anggota Komisi XII, Mas Malik memiliki peran strategis dalam mengawasi alokasi dana untuk sektor lingkungan hidup dan investasi. Ia mendesak pemerintah untuk memperkuat tata kelola sampah dan sistem peringatan dini banjir, menjadikannya prioritas dalam APBN 2026. Desakan ini muncul sebagai respons atas prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tentang musim hujan ekstrem pada periode 2025-2026, yang diperkirakan mencapai puncaknya pada November-Desember 2025 di Sumatera dan Kalimantan, serta Januari-Februari 2026 di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Curah hujan ekstrem, di mana hujan sebulan bisa turun dalam satu hari, berpotensi memicu banjir besar jika tidak ditangani dengan baik.

Mas Malik menyoroti bahwa banjir bukan sekadar fenomena alam, melainkan diperparah oleh faktor manusia, terutama pengelolaan sampah yang buruk. Ia mencontohkan krisis sampah di Bali, di mana akumulasi limbah di sungai dan pantai telah merusak lingkungan, mengganggu pariwisata, dan bahkan menyebabkan korban jiwa.

“Banjir di Bali diperburuk oleh sampah yang menyumbat saluran air, dan ini juga terjadi di dapil saya, khususnya di Demak yang rawan banjir rob,” ungkapnya, menyoroti dampak ekonomi terhadap sektor pariwisata di Bali dan mata pencaharian petani serta nelayan di Demak.

Di dapilnya, Mas Malik memahami betul tantangan lingkungan yang dihadapi masyarakat. Demak, dengan garis pantainya yang panjang, sering dilanda banjir rob yang merendam lahan pertanian dan permukiman, mengancam ketahanan pangan lokal. Di Kudus, banjir bandang dari sungai-sungai pegunungan sering kali diperburuk oleh sampah rumah tangga yang tersumbat di drainase. Sementara itu, Jepara, yang terkenal dengan industri ukiran kayu dan pariwisata pantai, menghadapi masalah erosi akibat limbah maritim yang tidak terkelola. Pengalaman ini membuat Mas Malik peka terhadap urgensi kebijakan lingkungan yang terintegrasi. Ia mengusulkan integrasi data dari BMKG, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membangun sistem peringatan dini banjir yang canggih. Sistem ini, katanya, harus mampu memberikan peringatan real-time melalui aplikasi mobile atau sirene otomatis, memungkinkan evakuasi dini dan meminimalkan kerugian. “Data yang terintegrasi akan memberikan prediksi akurat, sehingga masyarakat di Demak atau Kudus bisa bersiap sebelum banjir datang,” jelasnya.

Dalam hal pengelolaan sampah, Mas Malik menekankan pentingnya pendekatan berbasis teknologi dan ekonomi sirkular sebagai prioritas di APBN 2026. Ia mencontohkan keberhasilan proyek di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, yang kini menjadi model nasional. Pulau ini, yang dulunya menghadapi krisis sampah dengan 12 unit pemasyarakatan, berhasil mencapai status zero waste berkat penggunaan mesin insinerator yang mengolah limbah secara cepat dan ramah lingkungan. “Pemerintah Kabupaten Cilacap bahkan berencana mengirim sampahnya ke Nusakambangan untuk dikelola,” ujar Mas Malik, menjadikan ini sebagai bukti bahwa teknologi dapat mengatasi masalah sampah secara efektif.

Ia mendesak pemerintah untuk mereplikasi model ini di wilayah lain, termasuk Bali yang sedang berjuang dengan krisis sampah, serta di dapilnya seperti Demak dan Jepara, di mana limbah plastik sering menyumbat sungai dan saluran irigasi. Mas Malik juga mengusulkan pengembangan bank sampah digital, teknologi daur ulang, dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai bagian dari ekonomi sirkular, yang tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru. Kolaborasi antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta, menurutnya, adalah kunci untuk pembiayaan berkelanjutan. “Investasi ini harus masuk dalam APBN 2026 untuk memastikan solusi jangka panjang,” tegasnya.

Peran Mas Malik di parlemen tidak hanya terbatas pada pengawasan anggaran, tetapi juga dalam mendorong kebijakan yang terukur dan berbasis data. Ia mengkritik pendekatan reaktif pemerintah, di mana respons terhadap bencana sering kali datang terlambat, seperti pemberian bantuan pasca-banjir yang tidak mencegah kerugian awal. Sebaliknya, ia mendorong mitigasi proaktif melalui investasi preventif, seperti pembangunan infrastruktur drainase yang tahan sampah dan sistem peringatan dini berbasis teknologi. “Ketahanan lingkungan adalah bagian integral dari ketahanan nasional. Kita tidak bisa terus menangani bencana dengan pola lama,” katanya, menegaskan bahwa DPR akan mengawal alokasi dana yang memadai di APBN 2026 untuk mendukung adaptasi perubahan iklim.

Komitmen ini diperkuat oleh pengalamannya di dapil, di mana ia sering turun ke lapangan untuk mendengar keluhan warga, seperti petani di Demak yang kehilangan hasil panen akibat banjir rob, atau nelayan di Jepara yang terganggu oleh limbah di pantai.

Dengan latar belakang hukum, Mas Malik membawa pendekatan analitis dalam merumuskan kebijakan. Ia memastikan bahwa APBN tidak hanya pro-rakyat, tetapi juga berorientasi pada solusi jangka panjang yang mengatasi akar masalah lingkungan. Selain advokasi di parlemen, ia juga aktif dalam program pemberdayaan masyarakat, seperti edukasi lingkungan di sekolah-sekolah di Kudus dan Jepara. Dalam seminar-seminar lokal, ia sering mengundang pakar lingkungan untuk berbagi pengetahuan tentang teknologi pengelolaan sampah, menginspirasi generasi muda untuk peduli pada lingkungan. Pendekatan holistik ini membuatnya dihormati tidak hanya sebagai legislator, tetapi juga sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Visi Mas Malik untuk APBN 2026 berpotensi menjadi legacy politiknya, tidak hanya untuk dapilnya di Jepara, Kudus, dan Demak, tetapi juga untuk Indonesia secara keseluruhan. Dengan fokus pada mitigasi iklim dan pengelolaan sampah, ia berupaya menjadikan Indonesia lebih tangguh menghadapi perubahan iklim yang semakin tak terduga. Jika kebijakan yang ia usulkan—seperti sistem peringatan dini berbasis teknologi dan ekonomi sirkular—terwujud, dampaknya bisa dirasakan hingga generasi mendatang. Mas Malik terus membuktikan bahwa politik dapat menjadi alat untuk perubahan positif, menjembatani kebutuhan lokal dengan solusi nasional, dan memastikan bahwa rakyat, dari petani di Demak hingga pelaku wisata di Bali, terlindungi dari ancaman bencana lingkungan.