Sosialisasi 4 Pilar MPR RI di Jepara: Jamaludin Malik Ajak Tokoh Masyarakat Jaga Nilai Kebangsaan

JEPARA – Sebanyak 150 tokoh masyarakat dan pegiat desa dari 25 desa di wilayah Kecamatan Pecangaan dan sekitarnya mengikuti kegiatan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI yang digelar pada Minggu (18/5/2025) di Balai Pertemuan Warga Desa Pecangaan Kulon, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara. Kegiatan yang berlangsung seharian penuh ini diinisiasi oleh Jamaludin Malik, S.H., anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II yang meliputi Jepara, Kudus, dan Demak.
Jamaludin Malik dalam sambutannya mengatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai anggota legislatif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara.
“Sebagai wakil rakyat, saya memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung dalam 4 Pilar MPR RI—Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika—dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik oleh masyarakat,” ujar Jamaludin Malik saat membuka acara.
Dalam presentasinya, Jamaludin Malik menjelaskan secara mendalam tentang sejarah dan filosofi dari masing-masing pilar. Dia memaparkan bahwa Pancasila lahir dari proses panjang pemikiran para pendiri bangsa yang berhasil menggali nilai-nilai luhur dari kebudayaan Indonesia. Nilai-nilai tersebut kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
“Pancasila bukan sekadar simbol negara, tetapi merupakan kristalisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Karena itulah, Pancasila mampu menjadi pemersatu bangsa yang beragam,” kata Malik.
Terkait UUD 1945, Malik menjelaskan bahwa konstitusi tersebut merupakan hukum tertinggi yang menjadi dasar dan rujukan bagi seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia. UUD 1945 memuat prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban warga negara, serta struktur dan fungsi lembaga-lembaga negara.
“UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan kita menuju demokrasi yang lebih substantif,” terang Malik seraya menunjukkan beberapa pasal penting dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengenai NKRI, Malik menegaskan bahwa bentuk negara kesatuan merupakan pilihan sadar para pendiri bangsa yang mempertimbangkan kondisi geografis, sosiologis, dan historis Indonesia. Dia mengajak peserta untuk memahami makna “Negara Kesatuan” yang mengedepankan persatuan tanpa meniadakan keberagaman.
“Negara kesatuan tidak berarti sentralisasi absolut. Melalui otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam bingkai NKRI,” jelas Malik.
Sementara untuk Bhinneka Tunggal Ika, Malik menggambarkannya sebagai semboyan yang merefleksikan realitas Indonesia sebagai negara yang multi-etnis, multi-agama, dan multi-budaya. Semboyan ini mengajarkan untuk hidup berdampingan dalam perbedaan dan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan bukan kelemahan.
“Indonesia adalah negara majemuk dengan lebih dari 1.300 suku bangsa, 6 agama dan kepercayaan yang diakui, serta lebih dari 700 bahasa daerah. Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan kita untuk merayakan perbedaan tersebut dalam bingkai persatuan,” kata Malik.
Selain penyampaian materi, kegiatan ini juga diisi dengan Focus Group Discussion (FGD) di mana para peserta dibagi menjadi 5 kelompok untuk mendiskusikan implementasi 4 Pilar MPR RI dalam berbagai konteks kehidupan. Kelima kelompok tersebut membahas implementasi dalam konteks keluarga, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan politik.
Kelompok pertama yang fokus pada implementasi 4 Pilar dalam konteks keluarga menyimpulkan bahwa keluarga merupakan pondasi awal penanaman nilai-nilai kebangsaan. Keluarga bertanggung jawab untuk memperkenalkan nilai-nilai Pancasila, sikap nasionalisme, dan toleransi kepada anak-anak sejak dini.
“Nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, dan saling menghormati harus ditanamkan sejak anak masih kecil melalui contoh dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari,” lapor juru bicara kelompok pertama, Hj. Siti Fatimah, seorang tokoh perempuan dari Desa Troso.
Kelompok kedua yang membahas konteks pendidikan menekankan pentingnya revitalisasi pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah. Mereka mengusulkan agar pembelajaran tentang 4 Pilar MPR RI tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga eksperiensial melalui kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa untuk mempraktikkan nilai-nilai tersebut.
“Pendidikan tentang 4 Pilar harus menarik dan relevan dengan kehidupan siswa. Kita bisa menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek atau service learning agar siswa dapat merasakan manfaat langsung dari nilai-nilai tersebut,” usul Anwar Zainudin, kepala sekolah SMA Negeri 1 Pecangaan yang menjadi juru bicara kelompok kedua.
Kelompok ketiga yang membahas implementasi dalam konteks ekonomi menyoroti pentingnya ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan sila kelima Pancasila. Mereka mengkritisi sistem ekonomi yang terlalu berorientasi pada pasar bebas yang sering kali merugikan kelompok ekonomi lemah.
“Kita perlu mempromosikan model ekonomi yang lebih inklusif seperti koperasi dan UMKM. Kebijakan ekonomi harus memperhatikan prinsip keadilan sosial dan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan,” kata H. Abdul Wahid, pengusaha batik dari Desa Troso yang menjadi juru bicara kelompok ketiga.
Kelompok keempat yang fokus pada konteks sosial budaya menggarisbawahi pentingnya melestarikan kearifan lokal sebagai bagian dari identitas nasional. Mereka melihat adanya ancaman terhadap nilai-nilai budaya lokal akibat arus globalisasi dan westernisasi.
“Kita harus mendukung upaya pelestarian budaya lokal melalui festival, dokumentasi, dan pendidikan. Nilai-nilai budaya lokal yang positif seperti gotong royong dan tepa selira sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,” jelas Nyai Kholisoh, pemuka agama dari Desa Pecangaan Wetan yang mewakili kelompok keempat.
Kelompok kelima yang membahas konteks politik menekankan pentingnya etika politik yang berlandaskan Pancasila. Mereka mengkritisi praktik politik identitas dan politik transaksional yang merusak sendi-sendi demokrasi.
“Politik seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan atau pribadi. Para politisi harus mengedepankan moralitas dan etika Pancasila dalam setiap keputusan dan tindakan politiknya,” tegas KH. Masrukhin, pengasuh pondok pesantren dari Desa Rengging yang menjadi juru bicara kelompok kelima.
Setelah presentasi kelompok, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab di mana lima orang peserta mengajukan pertanyaan kepada Jamaludin Malik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkisar pada tantangan implementasi 4 Pilar MPR RI di era digital, strategi menghadapi ideologi transnasional, upaya menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada generasi muda, harmonisasi hukum nasional dengan kearifan lokal, dan peran tokoh masyarakat dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan.
Ahmad Syafiq, seorang guru madrasah dari Desa Gemulung, menanyakan tentang strategi menghadapi tantangan ideologi transnasional yang bertentangan dengan Pancasila. Malik menjawab bahwa kunci utamanya adalah penguatan pemahaman dan internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan formal dan informal.
“Kita harus membentengi generasi muda dengan pemahaman yang kuat tentang Pancasila dan sejarah bangsa. Selain itu, dialog antar kelompok perlu ditingkatkan untuk mencegah eksklusivisme dan ekstremisme,” jawab Malik.
Nur Kholifah, aktivis perempuan dari Desa Pulodarat, bertanya tentang strategi menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada generasi milenial dan Gen Z yang cenderung lebih terbuka terhadap pengaruh global. Malik menjawab bahwa pendekatan yang perlu dilakukan adalah dengan mengadaptasi metode penyampaian nilai-nilai kebangsaan agar lebih sesuai dengan karakteristik generasi digital.
“Kita perlu mengemas nilai-nilai kebangsaan dalam format yang menarik dan relevan dengan kehidupan anak muda, misalnya melalui konten kreatif di media sosial atau kegiatan yang melibatkan teknologi,” saran Malik.
Muhammad Ridwan, kepala desa dari Desa Kedungcino, menanyakan tentang harmonisasi antara hukum nasional dengan kearifan lokal yang kadang bertentangan. Malik menjelaskan bahwa UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan.
“Harmonisasi dapat dilakukan melalui pendekatan yang akomodatif dan adaptif. Hukum nasional harus mempertimbangkan keberagaman kearifan lokal, sementara praktik-praktik adat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi perlu didialogkan dan ditransformasi secara bertahap,” jawab Malik.
KH. Abdurrahman, pengasuh pondok pesantren dari Desa Lebuawu, bertanya tentang peran ulama dan tokoh agama dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan. Malik menjawab bahwa ulama dan tokoh agama memiliki posisi strategis karena dihormati dan diikuti oleh masyarakat.
“Para ulama dan tokoh agama dapat menjadi garda terdepan dalam mempromosikan moderasi beragama dan nasionalisme keagamaan. Mereka dapat menjelaskan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan,” jawab Malik.
Suparno, ketua karang taruna dari Desa Karangrandu, menanyakan tentang strategi melibatkan pemuda dalam upaya menjaga nilai-nilai kebangsaan. Malik menjawab bahwa pemuda perlu diberikan ruang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan kepemimpinan.
“Pemuda memiliki energi dan kreativitas yang luar biasa. Mereka perlu diberikan kepercayaan dan mentoring yang tepat untuk menyalurkan energi tersebut ke arah yang positif dan produktif,” kata Malik.
Kegiatan sosialisasi ini ditutup dengan penandatanganan deklarasi komitmen untuk menjaga dan mengimplementasikan nilai-nilai 4 Pilar MPR RI dalam kehidupan sehari-hari. Para peserta juga membawa pulang buku saku dan merchandise yang berisi informasi tentang 4 Pilar MPR RI untuk dibagikan kepada warga di desa masing-masing.
Jamaludin Malik berharap kegiatan sosialisasi ini dapat menjadi katalisator bagi gerakan penguatan nilai-nilai kebangsaan di tingkat akar rumput. “Saya berharap peserta dapat menjadi agen perubahan yang menyebarkan pemahaman tentang 4 Pilar MPR RI di lingkungan masing-masing,” harapnya.
H. Ahmad Sulistyo, Kepala Desa Pecangaan Kulon yang menjadi tuan rumah kegiatan, mengapresiasi inisiatif Jamaludin Malik. “Kegiatan seperti ini sangat penting untuk mengingatkan kembali masyarakat akan nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara, terutama di tengah gempuran arus informasi yang sangat masif saat ini,” ujarnya.
Para peserta juga memberikan respon positif terhadap kegiatan tersebut. “Saya mendapatkan banyak pencerahan tentang makna dan implementasi 4 Pilar MPR RI. Ini akan saya bagikan kepada warga di desa saya,” kata Hj. Muniroh, ketua PKK dari Desa Ngeling.
Rencananya, Jamaludin Malik akan melanjutkan kegiatan serupa di daerah-daerah lain di Dapil Jawa Tengah II sepanjang tahun 2025 sebagai bagian dari program kerjanya di DPR RI.